Panakawan
Panakawan adalah sebutan umum untuk para pengikut ksatriya dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa. Pada umumnya para panakawan ditampilkan dalam pementasan wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di samping itu, para panakawan juga berperan penting sebagai penasihat nonformal ksatriya yang menjadi asuhan mereka.
Peran Punakawan
Istilah punakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham", dan kawan yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para panakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan seringkali mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut.
Hal yang paling khas dari keberadaan panakawan adalah sebagai kelompok penebar humor di tengah-tengah jalinan cerita. Tingkah laku dan ucapan mereka hampir selalu mengundang tawa penonton. Selain sebagai penghibur dan penasihat, adakalanya mereka juga bertindak sebagai penolong majikan mereka di kala menderita kesulitan. Misalnya, Sewaktu Bimasena kewalahan menghadapi Sangkuni dalam perang Baratayuda, Semar muncul memberi tahu titik kelemahan Sangkuni.
Dalam percakapan antara para panakawan tidak jarang bahasa dan istilah yang mereka pergunakan adalah istilah modern yang tidak sesuai dengan zamannya. Namun hal itu seolah sudah menjadi hal yang biasa dan tidak dipermasalahkan. Misalnya, dalam pementasan wayang tokoh Petruk mengaku memiliki mobil atau handphone, padahal kedua jenis benda tersebut tentu belum ada pada zaman pewayangan.
Sejarah Panakawan
Pementasan wayang hampir selalu dibumbui dengan tingkah laku lucu para panakawan. Pada umumnya kisah yang dipentaskan bersumber dari naskah Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Meskipun demikian, dalam kedua naskah tersebut sama sekali tidak dijumpai adanya tokoh panakawan. Hal ini dikarenakan panakawan merupakan unsur lokal ciptaan pujangga Jawa sendiri.
Menurut sejarawan Slamet Muljana, tokoh panakawan muncul pertama kali dalam karya sastra berjudul Ghatotkacasraya karangan Mpu Panuluh pada zaman Kerajaan Kadiri. Naskah ini menceritakan tentang bantuan Gatotkaca terhadap sepupunya, yaitu Abimanyu yang berusaha menikahi Ksitisundari putri Sri Kresna.
Dikisahkan Abimanyu memiliki tiga orang panakawan bernama:
• Jurudyah
• Punta
• Prasanta
Ketiganya dianggap sebagai panakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa. Dalam kisah tersebut peran ketiganya masih belum seberapa, seolah hanya sebagai pengikut biasa.
Panakawan selanjutnya adalah Semar yang muncul dalam karya sastra berjudul Sudamala dari zaman Kerajaan Majapahit. Dalam naskah ini, Semar lebih banyak berperan aktif daripada ketiga panakawan di atas. Pada zaman selanjutnya, untuk menjaga keterkaitan antara kedua golongan panakawan tersebut, para dalang dalam pementasan wayang seringkali menyebut Jurudyah Puntaprasanta sebagai salah satu nama sebutan lain untuk Semar
Gara-Gara
Para dalang dalam setiap bagian pertengahan pementasan wayang, hampir selalu mengisahkan adanya peristiwa gara-gara yaitu sebuah keadaan di mana terjadi bencana besar menimpa bumi. Antara lain gunung meletus, banjir, gempa bumi, bahkan sampai korupsi yang merajalela. Panjang-pendek serta keindahan tata bahasa yang diucapkan untuk melukiskan keadaan gara-gara tidak ada standar baku, karena semuanya kembali pada kreativitas dalang masing-masing.
Para dalang kemudian mengisahkan bahwa setelah gara-gara berakhir, para panakawan muncul dengan ekspresi bahagia, menebar humor, dan bersenda gurau. Hal ini merupakan simbol bahwa setelah munculnya peristiwa kekacauan atau kerusuhan yang menimpa suatu negara, maka diharapkan rakyat kecil adalah pihak pertama yang mendapatkan keuntungan, bukan sebaliknya.
Akibat kesalahpahaman, istilah gara-gara saat ini dianggap sebagai saat kemunculan para panakawan. Gara-gara dianggap sebagai waktu untuk dalang menghentikan sementara kisah yang sedang dipentaskan, dan menggantinya dengan sajian musik dan hiburan bagi para penonton.
Daftar Nama para Panakawan
Dalam pementasan wayang, baik itu gaya Yogyakarta, Surakarta, Banyumasan, Sunda, ataupun Jawa Timuran, tokoh Semar dapat dipastikan selalu ada, meskipun dengan pasangan yang berbeda-beda.
Pewayangan gaya Jawa Tengah menampilkan empat orang panakawan golongan kesatriya, yaitu Semar dengan ketiga anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Selain itu terdapat pula panakawan golongan raksasa, yaitu Togog dan Sarawita.
Pada zaman pemerintahan Amangkurat I raja Kesultanan Mataram tahun 1645-1677, seni pewayangan sempat terpecah menjadi dua, yaitu golongan yang pro-Belanda, dan golongan yang anti-Belanda. Golongan pertama menghapus tokoh Bagong karena tidak disukai Belanda, sedangkan golongan kedua mempertahankannya.
Dalam pementasan wayang golek gaya Sunda, ketiga anak Semar memiliki urutan yang lain dengan di Jawa Tengah. Para panakawan versi Sunda bernama Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu pewayangan gaya Jawa Timuran menyebut pasangan Semar hanya Bagong saja, serta anak Bagong yang bernama Besut.
Dalam pewayangan Bali, tokoh panakawan untuk golongan ksatriya bernama Tualen dan Merdah, sedangkan pengikut golongan jahat bernama Delem dan Sangut.
Dalam pementasan ketoprak juga dikenal adanya panakawan, namun nama-nama mereka tidak pasti, tergantung penulis naskah masing-masing. Meskipun demikian terdapat dua pasang panakawan yang namanya sduah ditentukan untuk dua golongan tertentu pula. Mereka adalah Bancak dan Doyok untuk kisah-kisah Panji, serta Sabdapalon dan Nayagenggong untuk kisah-kisah Damarwulan dan Brawijaya.
1. Semar
Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa
Sejarah Semar
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
Asal-Usul dan Kelahiran
erdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Silsilah dan Keluarga
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
• Batara Wungkuham
• Batara Surya
• Batara Candra
• Batara Tamburu
• Batara Siwah
• Batara Kuwera
• Batara Yamadipati
• Batara Kamajaya
• Batara Mahyanti
• Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.
Pasangan Panakawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.
Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
2. Gareng
Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng
Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.
Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.
Dulunya, Gareng berujud ksatria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satriya yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satriya lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para ksatria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.
3. Petruk
Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa. Di Ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala atau Udel.
Masa lalu
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, berhantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi fatwa dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
Istri dan keturunan
Petruk mempuyai istri bernama Dewi Ambarawati, putri Prabu Ambarasraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding. Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarawati kemudian diboyong ke Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya. Dalam perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Lengkungkusuma.
Petruk dalam lakon pewayangan
Oleh karena Petruk merupakan tokoh pelawak/dagelan (Jawa), kemudian oleh seorang dalang digubah suatu lakon khusus yang penuh dengan lelucon-lelucon dan kemudian diikuti dalang-dalang lainnya, sehingga terdapat banyak sekali lakon-lakon yang menceritakan kisah-kisah Petruk yang menggelikan, contohnya lakon Petruk Ilang Pethele menceritakan pada waktu Petruk kehilangan kapak/pethel-nya.
Dalam kisah Ambangan Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai kerabat Pandawa (Gatotkaca), sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada kemudan menjadi bahan perebutan antara kedua negara itu. Di dalam kekeruhan dan kekacauan yang timbul tersebut, Petruk mengambil kesempatan menyembunyikan Kalimasada, sehingga karena kekuatan dan pengaruhnya yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh (Wel Edel Bey). Lakon ini terkenal dengan judul Petruk Dadi Ratu. Prabu Welgeduwelbeh/Petruk dengan kesaktiannya dapat membuka rahasia Prabu Pandupragola, raja negara Tracanggribig, yang tiada lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Nala Gareng. Dan sebaliknya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan badar/terbongkar rahasianya menjadi Petruk kembali. Kalimasada kemudian kembali kepada Pandawa.
Hubungan dengan punakawan lainnya
Petruk dan panakawan yang lain (Semar, Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu sama lain. Mengenai panakawan, panakawan berarti ”kawan yang menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah, apabila terdiri dari dua orang, yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang-orang yang bukan sekeluarga. Sebagai saksi seseorang harus dekat dan mengetahui sesuatu yang harus disaksikannya. Di dalam pedalangan, saksi atau panakawan itu memang hanya terdiri dari dua orang, yaitu Semar dan Bagong bagi trah Witaradya.
Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Disinilah saat mulai adanya panakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nana ”parepat/prepat”.
Wanda wayang Petruk
Wanda wayang Petruk terdiri dari :
1. Petruk wanda Jlegong (dibuat pada tahun 1563)
2. Petruk wanda Jamblang (dibuat pada tahun 1655)
3. Petruk wanda Mesem ( dibuat pada tahun 1710)
4. Petruk wanda Manglung.
5. Petruk wanda Gandrung
6. Petruk wanda Bujang
7. Petruk wanda Gugup
Dalam pedalangan Ngayogyakarta :
1. Jlegong
2. Bujang
3. Sambel Goreng
4. Klantung
5. Belis
6. Kancil
Ciri Petruk wanda Jamblang adalah sebagai berikut :
1. Adegipun Ndegeg (Dalam sikap berdiri dadanya maju ke depan )
2. Bahu Padeg
3. Jangga ageng (Janggutnya besar)
4. Praupan ndangan (Wajah menengadah )
5. Praeyan wiyar (Muka lebar)
6. Badan ketingal kendho (Badan terlihat bongsor dan longgar)
Ciri Petruk wanda Jlegong :
1. Adegipun Agrong (Perawakannya besar/bongsor)
2. Bahu ngajeng andhap (Bahu depan rendah)
3. Djangga celak dan ageng (Dagu pendek dan besar)
4. Praeyan wiyar (Muka Lebar)
5. Jaja ageng agrong
6. Badan ketingal kera
7. Awak-awakan limrahipun cemeng (Badan warna hitam)
4. Bagong
Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh punakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar.
Ciri fisik
Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan memble.
Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.
Asal-usul
Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan anak kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Semar Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Togog Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru.
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.
Versi lain menyebutkan, Semar adalah cucu Batara Ismaya. Semar mengabdi kepada seorang pertapa bernama Resi Manumanasa yang kelak menjadi leluhur para Pandawa. Ketika Manumanasa hendak mencapai moksha, Semar
Bagong pada zaman Kolonial
Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram. Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.
Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Anjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.
Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.
Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura. Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwana I yang bertakhta di Yogyakarta.
Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.
Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja. Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang panakawan dalam setiap pementasan mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung lebih banyak daripada Gareng yang biasanya hanya muncul dalam gara-gara saja.
Bagong versi Jawa Timur
Dalam pewayangan gaya Jawa Timuran, yang berkembang di daerah Surabaya, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya, tokoh Semar hanya memiliki satu orang anak saja, yaitu Bagong seorang. Bagong sendiri memiliki anak bernama Besut.
Tentu saja Bagong gaya Jawa Timuran memiliki peran yang sangat penting sebagai panakawan utama dalam setiap pementasan wayang. Ucapannya yang penuh humor khas timur membuatnya sebagai tokoh wayang yang paling ditunggu kemunculannya.
Dalam versi ini, Bagong memiliki nama sebutan lain, yaitu Jamblahita.
Bagong versi Banyumasan
Bagong dalam versi Wayang Banyumasan dinamakan Bawor.
Bawor atau Ki Lurah Carub Bawor adalah anak Semar yang tertua. Senjatanya adalah Kudi. Tutur bahasanya kasar, jujur dan tidak serius. Dikatakan Bawor adalah wayang "ora basa ala tanpa rupa". bagi masyarakat Banyumas, Bawor sangat disukai kemunculannya dalam setiap pagelaran wayang kulit.
Watak Dasar Bawor
Cablaka/Blakasata. Jujur, terbuka, merakyat, apa adanya, suka membela kebenaran, suka persaudaraan.
Sumber
Wikipedia
Minggu, 23 Mei 2010
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan merupakan salah satu gaya pedalangan di tanah Jawa, yang lebih dikenal dengan istilah pakeliran, dan berperan sebagai bentuk seni klangenan serta dijadikan wahana untuk mempertahankan nilai etika, devosional dan hiburan, yang kualitasnya selalu terjaga dan ditangani sungguh-sungguh oleh para pakar yang memahami benar. Pakeliran ini mencakup unsur-unsur yaitu, lakon wayang ( penyajian alur cerita dan maknanya), sabet ( seluruh gerak wayang), catur ( narasi dan cakapan) , karawitan ( gendhing, sulukan dan properti panggung ) .
Pakeliran Gagrag Banyumasan, mempunyai nuansa kerakyatan yang kental sebagaimana karakter masyarakatnya , jujur dan terus terang , dan hidup serta berkembang di daerah eks Karesidenan Banyumas, merupakan ekspresi dan sifatnya lebih bebas, sederhana, serta lugas dan mampu bertahan sampai saat ini dalam menghadapi perubahan zaman, karena memperoleh simpati dan dicintai masyarakatnya.
Hal ini berbeda dengan pakeliran gaya kerakyatan daerah lain, yang cenderung punah terutama didaerah yang dekat dengan pusat kekuasaan Keraton, misalkan saja Wonogiri, Sragen dan Karanganyar, dimana pengaruh pedalangan Keraton seperti Kesultanan Yogyakarta dengan pendirian seni pedalangan Hambiwarakake Rancangan Andhalang (Habirandha (1925)) , Kasunanan Surakarta dengan Pasinaoun Dhalang Surakarta (Padhasuka (1923)) dan awal tahun 1920 Mangkunegaran mendirikan Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PMDN), cenderung menekan pakeliran gaya kerakyatan sekitarnya, dan mejadikan pelestariannya merupakan tantangan tersendiri .
Pedalangan Gagrag Banyumasan, memperoleh pengaruh serta memiliki tatanan atau pakem dari seni pedalangan Surakarta dan Yogyakarta, akan tetapi mempunyai ciri khas tersendiri dengan penokohan Bawor dengan lagu Kembang Lepang serta Gendhing Banyumasan. Seni pedhalangan Gagrag Banyumasan ini kemudian dibakukan dan dilestarikan oleh para pakar pedhalangan Banyumas dalam paguyuban ganasidi/pedalangan eks karesidenan Banyumas, yang diselenggarakan di Kawedanan Bukateja tanggal 21 April 1979.
[sunting] Perkembangan Pedalangan Gagrak Banyumasan
Seperti juga seni pedalangan Indonesia yang lain, berkembang semenjak pengaruh Hindu, dengan berdirinya Mataram Hindu dengan serat Ramayana, era 898 M dalam bahasa Sansekerta dengan pengaruh India yang kuat, kemudian berkembang sejalan dengan penggunaan bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi. Seni pedhalangan memasuki zaman keemasan pada era Kediri (1042-1222) dalam pemerintahan Raja Jayabaya (1135-1157), berkembangnya penulisan dan karya sastra seperti serat Bharatayuda, serat Hariwangsa, serat Gathutkacasraya oleh Mpu Panuluh dan Wayang Purwa yang merupakan cikal bakal dan perkembangan seni pedalangan di Nusantara.
Pengaruh kuat lainnya pada pedalangan Banyumasan, yaitu pada zaman kesultanan Demak (1478-1546), kemudian Kesultanan Pajang (1546–1587), sampai dengan pengaruh Mataram pada zaman Plered (1645-1677) era Amangkurat Tegalarum yang secara khusus mempunyai perhatian besar untuk karesidenan Banyumas , dan mengutus dalang Ki Lebdajiwa ke Ajibarang, untuk lebih mengembangkan seni pedalangan Gagrag Banyumasan.
Pengaruh Gagrag Mataram (Surakarta dan Yogjakarta) lebih kuat, terutama melalui kawasan pesisir kidul, dan dikenal dengan seni pedalangan Banyumas pesisiran atau Gagrag Kidul Gunung, pengaruhnya dapat diketahui sampai dengan kisaran tahun 1920, dan terus berkembang melalui dalang trah Gombong ,yaitu Ki Cerma sampai dengan Ki Dhalang Menganti.
Sedangkan kawasan depan Banyumas (dari Purbalingga kemudian menyusuri Sungai Serayu , menuju kearah Barat), mempunyai pakeliran tersendiri dan dikenal dengan Gagrag Lor Gunung, seperti berkembang melalui dalang trah Kesugihan (aslinya dari pengembangan pesisiran) diantaranya Ki Dalang Tutur, dan terus berkembang samapai dengan era Ki Dalang Parsa, Ki Dalang Sugih. Akan tetapi yang cenderung tidak terpengaruh dhalang pesisiran adalah Ki Dalang Waryan dari Kalimanah.
Sehingga sampai sekarang tetap dikenal dan lestari seni tradisionil yaitu, Pedalangan Gagrag Banyumasan Kidul Gunung dan Pedalangan Gagrag Banyumasan Lor Gunung ( Redi Kendeng).
Lakon
Dalam Wayang Gagrag Banyumasan mempunyai ciri khas dalam penceritaan yang lebih memperjelas peran rakyat kecil yang dimanivestasikan dalam tokoh punakawan seperti cerita Bawor Dadi Ratu, Petruk Krama dan lain-lain selain itu pula wayang Gagrag Banyumasan lebih menonjolkan peran para muda dalam penyelesaian kasus-kasus dan permasalahan. Cerita Srikandi Mbarang Lengger' yang merupakan terusan lakon Srenggini Takon Rama adalah salah satu contoh kongkrit bahwa peran pemuda seperti Antasena dan Wisanggeni menjadi sangat sentral.
Referensi
• Patokan Pedhalangan Gagrag Banyumasan, Sek.Nas.Pewayangan Indonesia - Senawangi, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1983
• Pratiwimba Adhiluhung-Sejarah dan Perkembangan Wayang, S. Haryanto, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1988
Sumber :
Wikipedia
Pakeliran Gagrag Banyumasan, mempunyai nuansa kerakyatan yang kental sebagaimana karakter masyarakatnya , jujur dan terus terang , dan hidup serta berkembang di daerah eks Karesidenan Banyumas, merupakan ekspresi dan sifatnya lebih bebas, sederhana, serta lugas dan mampu bertahan sampai saat ini dalam menghadapi perubahan zaman, karena memperoleh simpati dan dicintai masyarakatnya.
Hal ini berbeda dengan pakeliran gaya kerakyatan daerah lain, yang cenderung punah terutama didaerah yang dekat dengan pusat kekuasaan Keraton, misalkan saja Wonogiri, Sragen dan Karanganyar, dimana pengaruh pedalangan Keraton seperti Kesultanan Yogyakarta dengan pendirian seni pedalangan Hambiwarakake Rancangan Andhalang (Habirandha (1925)) , Kasunanan Surakarta dengan Pasinaoun Dhalang Surakarta (Padhasuka (1923)) dan awal tahun 1920 Mangkunegaran mendirikan Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PMDN), cenderung menekan pakeliran gaya kerakyatan sekitarnya, dan mejadikan pelestariannya merupakan tantangan tersendiri .
Pedalangan Gagrag Banyumasan, memperoleh pengaruh serta memiliki tatanan atau pakem dari seni pedalangan Surakarta dan Yogyakarta, akan tetapi mempunyai ciri khas tersendiri dengan penokohan Bawor dengan lagu Kembang Lepang serta Gendhing Banyumasan. Seni pedhalangan Gagrag Banyumasan ini kemudian dibakukan dan dilestarikan oleh para pakar pedhalangan Banyumas dalam paguyuban ganasidi/pedalangan eks karesidenan Banyumas, yang diselenggarakan di Kawedanan Bukateja tanggal 21 April 1979.
[sunting] Perkembangan Pedalangan Gagrak Banyumasan
Seperti juga seni pedalangan Indonesia yang lain, berkembang semenjak pengaruh Hindu, dengan berdirinya Mataram Hindu dengan serat Ramayana, era 898 M dalam bahasa Sansekerta dengan pengaruh India yang kuat, kemudian berkembang sejalan dengan penggunaan bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi. Seni pedhalangan memasuki zaman keemasan pada era Kediri (1042-1222) dalam pemerintahan Raja Jayabaya (1135-1157), berkembangnya penulisan dan karya sastra seperti serat Bharatayuda, serat Hariwangsa, serat Gathutkacasraya oleh Mpu Panuluh dan Wayang Purwa yang merupakan cikal bakal dan perkembangan seni pedalangan di Nusantara.
Pengaruh kuat lainnya pada pedalangan Banyumasan, yaitu pada zaman kesultanan Demak (1478-1546), kemudian Kesultanan Pajang (1546–1587), sampai dengan pengaruh Mataram pada zaman Plered (1645-1677) era Amangkurat Tegalarum yang secara khusus mempunyai perhatian besar untuk karesidenan Banyumas , dan mengutus dalang Ki Lebdajiwa ke Ajibarang, untuk lebih mengembangkan seni pedalangan Gagrag Banyumasan.
Pengaruh Gagrag Mataram (Surakarta dan Yogjakarta) lebih kuat, terutama melalui kawasan pesisir kidul, dan dikenal dengan seni pedalangan Banyumas pesisiran atau Gagrag Kidul Gunung, pengaruhnya dapat diketahui sampai dengan kisaran tahun 1920, dan terus berkembang melalui dalang trah Gombong ,yaitu Ki Cerma sampai dengan Ki Dhalang Menganti.
Sedangkan kawasan depan Banyumas (dari Purbalingga kemudian menyusuri Sungai Serayu , menuju kearah Barat), mempunyai pakeliran tersendiri dan dikenal dengan Gagrag Lor Gunung, seperti berkembang melalui dalang trah Kesugihan (aslinya dari pengembangan pesisiran) diantaranya Ki Dalang Tutur, dan terus berkembang samapai dengan era Ki Dalang Parsa, Ki Dalang Sugih. Akan tetapi yang cenderung tidak terpengaruh dhalang pesisiran adalah Ki Dalang Waryan dari Kalimanah.
Sehingga sampai sekarang tetap dikenal dan lestari seni tradisionil yaitu, Pedalangan Gagrag Banyumasan Kidul Gunung dan Pedalangan Gagrag Banyumasan Lor Gunung ( Redi Kendeng).
Lakon
Dalam Wayang Gagrag Banyumasan mempunyai ciri khas dalam penceritaan yang lebih memperjelas peran rakyat kecil yang dimanivestasikan dalam tokoh punakawan seperti cerita Bawor Dadi Ratu, Petruk Krama dan lain-lain selain itu pula wayang Gagrag Banyumasan lebih menonjolkan peran para muda dalam penyelesaian kasus-kasus dan permasalahan. Cerita Srikandi Mbarang Lengger' yang merupakan terusan lakon Srenggini Takon Rama adalah salah satu contoh kongkrit bahwa peran pemuda seperti Antasena dan Wisanggeni menjadi sangat sentral.
Referensi
• Patokan Pedhalangan Gagrag Banyumasan, Sek.Nas.Pewayangan Indonesia - Senawangi, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1983
• Pratiwimba Adhiluhung-Sejarah dan Perkembangan Wayang, S. Haryanto, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1988
Sumber :
Wikipedia
Selasa, 18 Agustus 2009
Sekilas Tentang Banyumas
Ini adalah tulisan pertama saya........ Sesuai dengan nama blog saya Banyumas Satria Banyumas adalah kelahiran saya dengan ibukota kabupaten Purwokerto Satria adalah slogan dari kabupaten Banyumas yang kepanjangannya : Sejahtera Adil Tertib Rapi Indah Aman Maka saya akan sedikit membahas tentang Kabupaten Banyumas. Sebagai wujud kebanggaan saya sebagai putra Banyumas.
Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum'at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.
Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).
Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja .......Selengkapnya sejarah kabupaten Banyumas
Letak Geografis Kabupaten Banyumas
Wilayah Kabupaten Banyumas terletak di sebelah Barat Daya & merupakan bagian dari Propinsi Jawa Tengah.
Batas-batas Kabupaten Banyumas adalah :
Luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km2 atau setara dengan 132.759,56 ha, dengan keadaan wilayah antara daratan, lembah sungai, & pegunungan.
Bumi & kekayaan Kabupaten Banyumas masih tergolong potensial karena terdapat pegunungan Slamet dengan ketinggian puncak dari permukaan air laut sekitar 3.400M dan masih aktif. Keadaan cuaca & iklim di Kabupaten Banyumas karena tergolong di belahan selatan khatulistiwa masih memiliki iklim tropis basah. Demikian Juga karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari permukaan pantai/lautan maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak, namun dengan adanya dataran rendah yang seimbang dengan pantai selatan angin hampir nampak bersimpangan antara pegunungan dengan lembah dengan tekanan rata-rata antara 1.001 mbs, dengan suhu udara berkisar antara 21,4° C - 30,9° C. Peta Kab. Banyumas Kabupaten Banyumas terdiri atas :
Demikian sedikit ulasan tentang kabupaten Banyumas, mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan karena ini adalah kali pertamanya saya menulis. Kritik, Saran, dan Komentar sangat diharapkan untuk membangun kesempurnaan dan akan saya terima dengan senang hati.
terimakasih
Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum'at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.
Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).
Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja .......Selengkapnya sejarah kabupaten Banyumas
Letak Geografis Kabupaten Banyumas
Wilayah Kabupaten Banyumas terletak di sebelah Barat Daya & merupakan bagian dari Propinsi Jawa Tengah.
Batas-batas Kabupaten Banyumas adalah :
- Sebelah Utara: Gunung Slamet, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang.
- Sebelah Selatan: Kabupaten Cilacap
- Sebelah Barat: Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes
- Sebelah Timur: Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara
Luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km2 atau setara dengan 132.759,56 ha, dengan keadaan wilayah antara daratan, lembah sungai, & pegunungan.
Bumi & kekayaan Kabupaten Banyumas masih tergolong potensial karena terdapat pegunungan Slamet dengan ketinggian puncak dari permukaan air laut sekitar 3.400M dan masih aktif. Keadaan cuaca & iklim di Kabupaten Banyumas karena tergolong di belahan selatan khatulistiwa masih memiliki iklim tropis basah. Demikian Juga karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari permukaan pantai/lautan maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak, namun dengan adanya dataran rendah yang seimbang dengan pantai selatan angin hampir nampak bersimpangan antara pegunungan dengan lembah dengan tekanan rata-rata antara 1.001 mbs, dengan suhu udara berkisar antara 21,4° C - 30,9° C. Peta Kab. Banyumas Kabupaten Banyumas terdiri atas :
- 27 Kecamatan
- 30 Kelurahan
- 301 Desa
- Wisata Alam : lokawisata Baturaden, Curug Cipendog, Curug Ceheng, Pemandian Kalibacin
- Wisata Budaya : Desa Wisata Ketenger, Hari Jadi Kabupaten Banyumas, Penjamasan Jimat Kalisalak, Penjaroan
- Wisata Religi : Masjid Saka Tunggal dan Taman Kera Cikakak, Gowa Maria Kaliori
Sumber : www.banyumaskab.go.id
Demikian sedikit ulasan tentang kabupaten Banyumas, mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan karena ini adalah kali pertamanya saya menulis. Kritik, Saran, dan Komentar sangat diharapkan untuk membangun kesempurnaan dan akan saya terima dengan senang hati.
terimakasih
Langganan:
Postingan (Atom)